RSS

Sayup-sayup Meraihnya —— part 1


Awan masih sangat hitam pagi itu. Bergulung-gulung menggumpal memenuhi langit. Matahari pagi entah ada atau tidak di balik sana. Tubuh kecil itu masih meringkuk di ujung anak tangga terakhir rumah itu. Kuyu, lusuh, lelah setelah badai yang tak kenal ampun menghempas tubuh mungilnya. Tubuh kecil penuh luka, tapi tak terbayang berapa besar, berapa dalam luka di hatinya. Badai semalam meluluh lantakan miliknya. Bagaimana ia menyaksikan hidupnya di ujung gerbang, dan hidup orang yang disayanginya terlempar ke jalan di luar gerbang itu. Mengapa hanya dia yang kembali? Mengapa hanya dia yang tak menyebari gerbang tersebut? Jangan. Jangan begitu. Itu menghakimi Tuhan. Kau tak berhak. Aku pun tak berhak. Yang sama-sama kita tahu kini, bocah kecil ini terluka. Luar dan dalam. Sangat dalam. Dan akan semakin dalam. Ku rasa akan begitu. Dan ku rasa kau juga akan merasa begitu.
Bagaimana tidak. Kini ia meringkuk lemah di anak tangga terakhir. Mengumpulkan titik-titik kenangan indah yang tersisa sebelum titik-titik itu berubah kelam menjadi kehilangan. Betapa aku tak menyenanginya, di titik betapa rentanya ia kini mengapa suara-suara itu menyayatnya lebih dalam. Tak dapatkan mereka memeluknya saja? Atau setidaknya diam saja. Mengapa hanya tangan itu yang memeluknya? Tangan itupun sedang tak kalah kehilangannya saat ini. Mengapa suara-suara itu tak memeluk mereka saja? Mengapa mereka meributkan ego mereka? Aku tak suka, walau aku tak berhak. Biarlah, ini kisah yang ku kisahkan.
Kini ia di bawah tangan siapa? Mengapa itu diributkan. Tangan tadi akan tetap merangkulnya, seerat ia mampu. Dia sekarang siapa? Kenapa itu menjadi masalah? Ia tetap yang dulu. Di mana dan ke mana ia sekarang? Apa ini?! Tak kah kalian lihat ia di mana sekarang?! Ia di puncak kehilangan menuju ke kehampaan. Hentikan omong kosong kalian!
Tenang sayang. Badai ini pasti akan berlalu. Dan kau kan bertemu mataharimu.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Maret 16, 2016 inci fiktif, story

 

Tag: , , , , , ,

Bukan “Story-teller”


Selama ini aku hanyalah seorang pembaca, “reader“. Membaca tiap huruf-huruf. Membaca tiap kerut wajah. Membaca gerakan-gerakan. Membaca isyarat-isyarat. Aku berpuas diri hanya dengan “membaca”. Menikmati setiap cerita yang ku dapat. Menyimpulkan rahasia-rahasia yang terungkap. Siapa akan menyalahkan. Aku “membaca”. Aku lah yang menerjemahkan semuanya. Dan semuanya hidup di kepala ku. Hanya di dalam kepala ku. Duniaku. Masalahnya bagimu?
Suatu ketika seseorang bercerita padaku. Menceritakan rahasianya, begitulah katanya. Apa yang akan ku tolak? Cerita? Oh, tidaklah mungkin. Rahasia itu mengalir melalui kata-katanya yang ku dengar, sembari aku membacanya. Membacanya melalui ritme nafasnya. Melalui jedanya. Melalui bunyi-bunyi yang dapat ku dengar. Aku tak menatap wajahnya. Dia mengatakan itu rahasianya. Lalu mengapa ia menceritakannya? Apakah dia seorang “story-teller“? Pendongeng? Menceritakan aku sesuatu yang mereka sebut “rahasia” untuk membuaiku dengan pikiran mereka. Mengatur, mengendalikan gejolak emosi yang akan ku munculkan. Tapi tunggu. Lama. Tidak tidak. Tidak terlalu lama. Tahun mungkin. Ya. Aku pernah membacanya. Membacanya perlahan-lahan. Dari wajahnya. Aku menatapnya. Dari gurat-gurat emosi yang terlukis di wajahnya. Dari penyangkalan kata yang melindungi dirinya dari tingkah dan gerakan yang tanpa sadar ia munculkan. Dari degup jantung dan nafasnya yang, yaaaaa aku dengar dan rasa tanpa ia sadari. Tentu saja aku menerjemahkannya. Tanpa maksud. Hanya untuk kesenangan pribadi. Sama seperti hal lainnya. Apa hasil yang ku baca? Apa terjemahan yang ku peroleh? Apakah kau ingin tau?
Hahah. Aku adalah “reader“. Akan tetap begitu. Begitulah.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Maret 5, 2016 inci fiktif, non-fiktif

 

Tag: , , , , , , ,

Rasional Irrasional


Apa yang harus dikhawatirkan? Aku hanya bertanya apa yang harus dikhawatirkan? Kenapa?
Sepertinya perlulah kau tau. Ini adalah perkara yang kata mereka sangat rasional dan irrasional.
Aku cemburu.
Duniaku lebih dan sangat menakjubkan di dalam kepala ku. Tidaklah ada yang mengerti. Aku pun.
Aku cemburu.
Kata mereka itu rasional. Aku mencinta.
Aku cemburu.
Pada angin-angin itu berputar menyejukkan harimu. Pada matahari menggambarkan bayang-bayang pohon untukmu berteduh. Pada kamar yang senantiasa menentramkan istirahatmu. Irrasional.
Aku cemburu.
Pada nama-nama yang keluar dari senyummu. Pada makhluk-makhluk bodoh yang mengulirkan tawamu. Pada manusia-manusia omong kosong -yaaa….setidaknya bagiku- yang berlalu lalang di hidupmu. Pada kata-kata “teman” “sahabat” yang kau lontarkan penuh semangat. Pada mereka “keluarga” yang kau peluk dengan segenap hidup dan hatimu. Irrasional.
Aku cemburu.
Pada “lama” dan “lebih dahulu” yang tak dapat aku lawan. Bahkan mungkin dengan “spesial” yang ku miliki -atau setidaknya yang aku harap untuk aku miliki- . Irrasional.
Apa yang perlu diakhawatirkan? Kenapa? Ini gila. Ini kegilaan. Hanya kegilaan. Kenapa kita tidak hanya berlalu. Tersenyum. Tidak perlu kau tau. Aku hanya akan mentertawakannya. Irrasional bukan? Ya.
Mari hanya berbahagia.

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada Desember 28, 2015 inci fiktif, poem, story

 

Tag: , ,